Jakarta –
Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menggelar soft launching Virtual Police guna melakukan pencegahan penyebaran hoax hingga ujaran kebencian. Polisi akan lebih mengutamakan pencegahan dengan cara pemberian peringatan virtual, sementara penindakan merupakan upaya terakhir.
“Sesuai dengan kebijakan bapak Kapolri bahwa penindakan itu bersifat ultimum remedium jadi upaya terakhir,” ujar Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Slamet Uliandi, dalam acara yang disiarkan di YouTube SiberTv, Jumat (19/2/2021).
Slamet mengatakan Dittipidsiber melakukan patroli siber di media sosial mengawasi konten-konten yang terindikasi mengandung hoax serta hasutan di berbagai platform, seperti di Facebook, Twitter, dan Instagram. Kemudian tim patroli Dittipidsiber akan mengirim pesan berupa direct message (DM) melalui WhatsApp atau media lainnya berupa peringatan. Di dalam pesan tersebut disampaikan bahwa konten itu mengandung pelanggaran atau hoax.
“Jadi kita ke depan akan kita launching hari ini virtual polisi atau Virtual Police. Namun peringatan virtual sehingga sifatnya begini pada saat orang melakukan kira-kira kesalahan, kita anggaplah si Badu. Saudara Badu hari ini Anda meng-upload konten jam sekian tanggal sekian, konten ini berpotensi pidana SARA dengan ancaman hukuman penjara,” ujar Slamet.
Ia menegaskan saat tim patroli siber memberikan peringatan virtual, sebelumnya telah melalui verifikasi ke ahli pidana, ahli bahasa, maupun ahli ITE. Ia menegaskan peringatan virtual itu dilakukan berdasarkan pendapat ahli sehingga bukan pendapat subjektif penyidik kepolisian.
“Misal pada saat dia upload, kemudian tim verifikasi melaporkan ke Mabes, ditanya kepada saksi ahli pidana, saksi ahli bahasa, saksi ahli UU ITE setelah 3 hal tersebut terpenuhi maka baru kita kirim peringatan tersebut sehingga tidak subjektif oleh penyidik. Tapi sudah melalui tahapan verifikasi oleh tim ahli,” ujarnya.
Lebih lanjut, penyidik juga memberikan pesan peringatan itu dua kali ke seseorang yang diduga mengunggah konten hoax atau ujaran kebencian, dalam waktu 1×24 jam maka konten tersebut harus diturunkan. Jika tidak diturunkan, penyidik akan memberikan peringatan lagi, tetapi jika tidak ada perubahan, maka akan ditingkatkan ke tahap pemanggilan untuk dimintai klarifikasi.
“Pada saat dia tidak turunkan kita ingatkan lagi, kalau tidak ingatkan kita klarifikasi, undangan klarifikasinya itu pun sifatnya tertutup jadi orang tidak usah tahu karena privasi. Namun kalau sudah dilakukan tahapan itu kemudian tidak mau kooperatif, kira-kira bagaimana? Tapi sesuai perintah Bapak Kapolri cara-cara humanis itu harus dikedepankan karena ini program 100 hari beliau polisi yang humanis,” kata Slamet.
Lebih lanjut, Dittipidsiber juga menyampaikan sejumlah strategi untuk melakukan pencegahan, pertama dilakukan edukasi. Kemudian memperkuat kewaspadaan masyarakat terhadap potensi ancaman kamtibmas, meningkatkan pelayanan kinerja kepolisian demi keadilan dan kebermanfaatan hukum.
“Tahapan-tahapan strategi yang dilakukan melalui beberapa proses yang pertama edukasi. Kemudian peringatan virtual, setelah dilakukan peringatan virtual kita lakukan mediasi, restorative justice. Setelah restorative justice baru laporan polisi sehingga tidak semua pelanggaran atau penyimpangan di ruang siber dilakukan upaya penegakan hukum melainkan mengedepankan upaya mediasi dan restorative justice sehingga terciptanya ruang siber yang bersih, sehat, beretika, produktif dan beragam,” ujar Slamet.
Adapun tindak pidana yang bisa dilakukan dengan cara restorative justice misalnya pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan. Ia menyebut pelaku yang terlibat di kasus tersebut bisa tidak ditahan, karena restorative justice mengedepankan terciptanya keadilan dan keseimbangan antara pelaku dan korbannya.
“Tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan cara restorative justice, yang pertama pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan. Itu ada di UU ITE Pasal 27 ayat 3, Pasal 207 penghinaan terhadap penguasa, Pasal 310 dan Pasal 311. Terhadap tindak pidana tersebut pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan itu tidak akan dilakukan penahanan mulai hari ini dan dapat diselesaikan dengan cara restorative justice,” ujarnya.
“Kenapa tidak bisa di tahan karena sudah dikeluarkan oleh Kapolri kepada seluruh jajaran apabila akan naik sidik harus dilakukan gelar secara virtual oleh Mabes Polri sehingga ini lah upaya Pak Jokowi, Pak Kapolri membuat untuk lebih tenang bangsa ini. Tapi bukan berarti tidak dilakukan penahanan terus kita semena-mena artinya kita sama sama koreksi diri,” ujarnya.
Lebih lanjut, Uliandi juga mengatakan kepolisian tidak akan menindak seseorang yang melakukan kritik terhadap pemerintah. Kritik tersebut harus disampaikan secara beradab, tetapi jika kritik disampaikan dengan menambahkan ujaran kebencian dan hoax, maka akan ditindak.
“Kritik itu sah sah saja, namun ujaran kebencian, fitnah dan kebohongan itu yang tidak baik. Seseorang kalau dia mengkritik pada saat dia mengkritik kalau dia berbuat jahat di dalam lubuk hatinya yang paling dalam dia tahu kok kalau dia berbuat kejahatan, dia tahu kok bahwa kritik itu mengandung hoax, mengandung ujaran kebencian yang menurutnya ditambah-tambah atau diedit sehingga kalau bicara kritik kepada pemerintah kita tidak akan sentuh,” ucapnya.
Slamet menekankan sah saja melakukan kritik terhadap pemerintah. Akan tetapi, cara penyampaiannya merupakan kritik yang membangun.
“Mana ada sih kasus kritik yang kita tahan. Artinya kritik yang beradab, bangsa kita ini kan bangsa yang sangat beradab. Kalau kritik itu kemudian membangun dan konstruktif bahkan untuk kita sendiri maka itu kita implementasikan pada Siber Polri,” imbuhnya.
(yld/bar)